Rabu, 13 Juni 2012

Politik Masa H.Habibie


POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PASCA ORDE BARU

 
 
 
 
 
 
27 Votes

MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999)  setelah lengsernya Soeharto dari jabatannya. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar