Masyarakat Permisif dan Terbuka Suburkan Korupsi
JAKARTA - Budaya masyarakat Indonesia yang lebih relatif permisif,
bersifat terbuka, dan serba membolehkan terhadap perilaku korupsi
menjadi salah satu akar maraknya kasus korupsi di negeri ini. Akibat
sifat permisif itu, korupsi tidak hanya terjadi,di negra kita
aitu indonesia.
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL
Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi
mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah
masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan
aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi
mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah
masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan
aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan
(preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat,
baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan
tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan
sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri,
mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan
lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan
menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib
sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan
tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter
DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara
korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean
goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun
menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi,
politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu
demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan
memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak
sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi
meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian
dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi dimasa
orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan
lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar
pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat
saja.
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai
dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya
institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap
produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi
dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara,
sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.
Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan.
Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau.
Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang
dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara
perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi
pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca
reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa
presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah
menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan
berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari
kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian
yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu
saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah
masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan
aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan
(preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga
budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi
suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa
diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas
pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan
justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang
berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh
dalam hal ini.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi
semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya
tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di
negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya
adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah
selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya
sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan
melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk
kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU
No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error
criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang
membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada
hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib
hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas
yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai
engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang
muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya
sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya
preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan
dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah
karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum
seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena
hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan
kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering
dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan
melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan
hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam
upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena
memungkinkan memutus matarantainya.
Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti
seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan
kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga
yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti
koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah
lebih dari "mewah". Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah
kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya
bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah
bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ?
Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau
secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang
membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.
Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran
agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang.
Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya
terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai
yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan
nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal
ini bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan
barang yang mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati
jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar
sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat sakti dari
"orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam struktur
lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas yang
bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi
kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang
bukan ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya
hal ini seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta
tapi juga di pemerintahan.
Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh
hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan
terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang
jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena
ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan
menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang
harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola
tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika
moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi
Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial
dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan
masyarakat.
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL
|
Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi
mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah
masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan
aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
|
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi. Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja. Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat. Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu. Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum. Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan. Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus matarantainya. Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah". Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral. Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang. Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal ini bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar